Di dalam Pelukan Nusantara yang Terkoyak
Puisi ini dibuat berawal dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dengan tema Bhinneka Tunggal Ika – Semboyan Negara Indonesia_Walau Berbeda-beda tetapi satu juga- di SMP Kebon Dalem Semarang. Sekolah ini merupakan karya pendidikan para Suster Penyelenggaraan Ilahi Provinsi Indonesia. Melalui puisi ini, peserta didik ingin memberi gambaran realita kehidupan tentang keberagaman di Indonesia yang seharusnya menjadi kekuatan, tetapi masih sering menjadi alasan/pemicu perpecahan.
Bagian terakhir puisi menghighlight harapan untuk masa depan yang lebih baik. Perpecahan yang ada bukalahn sesuatu yang tidak dapat diubah. Dengan persatuan & kesetaraan, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik. Puisi ini mengajak tiap orang untuk melihat perbedaan bukan sabagai penghalang, tetapi kekayaan yang harus dirayakan. Hanya dengan persatuan, kita bisa merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan hanya dalam status politik, tapi dalam hati dan jiwa kita sebagai bangsa Indonesia.
Karya:
1. Clarissa Natania/9B
2. Ignatius Loyola Puji Panuwun Agung/9A
3. Beverly Seveniara Gladys Wanget/9A
4. Miranda Debora Setiawan/9A
Di dalam Pelukan Nusantara yang Terkoyak
Dibawah langit yang sama, kita berdiri, memandang matahari pemberi terang
Namun mengapa kita masih terbagi, di tanah yang sama saling mencurigai
Warna kulit jadi alasan berpaling, agama jadi dinding tertinggi
Kita lupa di mana hati seharusnya berperan, menghargai perbedaan yang Tuhan ciptakan
Di jalan yang sama, kita berjalan, namun sebagian hanya melihat perbedaan
Seolah hidup ini hanya soal garis dan warna, tanpa melihat bahwa jiwa kita bersaudara
Mereka berbicara tentang kebesaran bangsa , Tapi tak pernah belajar tentang cinta yang luas
Di tengah ributnya suara mereka yang menyuarakan kami, Lupa bahwa kita semua adalah kita
Aku ingin berkata “Tidakkah kalian melihat?”, betapa hati ini terluka
Menyaksikan derita yang tercipta, dari bibir yang mengucap kata-kata kasar
Di ruang yang sama, kita bernafas, namun kata-kata membelah jiwa.
Mereka yang menganggap perbedaan itu noda, seakan hidup hanya milik satu warna
Katanya Bhinneka Tunggal Ika, tapi mengapa masih ada yang merasa paling baik
Menganggap perbedaan sebagai ancaman, bukan kekayaan yang seharusnya kita rayakan
Katanya sabahat dalam keberagaman, namun mengapa masih menutup mata?
Tak mau melihat mereka yang berbeda, seakan kau dibunuh jika kau berbeda
Katanya Persatuan Indonesia, nyatanya perbedaan malah jadi jurang
Bukankah kita satu dalam sejarah yang sama?
Katanya 1945 kita merdeka, namun rasanya masih layak dipertanyakan
Benarkah kita merdeka? Kapan kita bisa benar - benar merdeka?
Jika hati masih terbelenggu perpecahan
Di bawah langit surgawi, dua jiwa terpaut, kau bagai embun yang menyapa pagi
Aku sinar mentari yang tak pernah lelah, bersatu melengkapi lukisan ilahi
Tertulis dalam takdir sebagai Adam dan Hawa
Teringat masa penuh warna, Kini semua jadi kelabu
Aku menanti dunia, memandang tanpa batas, tanpa stereotip yang pedih
Saat kata 'pria' dan 'wanita' menjadi sengketa, langkah kita jadi terhenti
Mereka bilang, peranmu berbeda karena tubuhmu berbeda! Padahal hati ini sama
Namun, awan mendung seakan menyelimuti, saat peran dan kodrat memasung kemerdekaan
Sungguh terukir luka yang perih, mengikis asa, menyisakan sepi di relung diri
di antara riuh gemuruh dunia, hati berharap akan persatuan
Menata masa depan dengan tekad, merajut hari esok
Hari esok yang bebas dari belenggu perpecahan
Bumi menorehkan kisah di setiap lapisan tanah
Warna-warni jiwa menyatu dalam kanvas semesta
Menggenggam harapan dalam setiap hela napas
Sungguh, jangan biarkan ini jadi penghalang
Sungguh, ini hanya perbedaan yang membuat kita jauh lebih kaya
Sungguh, seharusnya ini tidak jadi penghalang bagi kita untuk merdeka
Jiwaku ini mengharapkan perjalanan yang setara dalam keanekaragaman
GENERALAT DER SCHWESTERN VON DER GÖTTLICHEN VORSEHUNG
Breul 22 a
48143 Münster
Telefon: 0251 41350
vorsehungsschwestern@
generalat.de